Mencari Makna dalam Pergulatan Modernitas |
Tidak heran ketika alam, zaman atau kehidupan terus mengalami perubahan yang pada saat ini merupakan zaman modernitas yang merupakan akibat dari perubahan tersebut. Modernitas lahir bukan hanya keniscayaan sebagai akibat dari sifat zaman yang terus berubah, tetapi juga merupakan hasil dari produk dan usaha pemikiran seperti yang disebut diatas. Yang kedua ini dikenal dengan abad pencerahan eropa atau revolusi perancis. Ditengah arus modernitas, kehidupan mengalami perubahan sangat besar yang sangat mempengaruhi pola hidup dan pemikiran manusia yang hidup pada zaman itu. Dunia modern sangat penuh dengan materialistism dan pragmatism, serba rasional dan efektif. Hampir segala bidang aspek kehidupan dilihat sebagai sebuah fenomena dan selalu ingin diobjektifikasi dalam arti material. Modernitas dengan segala kejutannya berupa akses informasi serba cepat, industrialisasi mewarnai kehidupan sosial politik sampai kecenderungan pada solusi berbasis mesin, mengakibatkan makna seakan hilang dan tak terpikirkan dari sebagai anak zaman ini. Arus rasionalitas yang turut mewarnai pemikiran dan tingkah laku manusia modern justru memunculkan masalah berupa perilaku irrasional (bertentangan dengan realitas yang dianggap benar secara moral maupun hukum). Kecemasan dan ketenangan jiwa yang dialami oleh masyarakat modern membawa implikasi yang disebut substantif destruktif, yaitu suatu tindakan yang mengarah pada tindakan negatif (Abdullah, 2006: 3).. Kehidupan sosial kultural pun turut menjadi bulan-bulanan penghancuran dari modernitas. Dari kehidupan sosial yang akrab partisipatif serta bekerja secara kolektif, kini berubah pada individualitas.
Berbagai permasalahan tentang modernitas sikap menutup diri bukanlah sikap yang bijak. Menutup diri atau menolak modernitas merupakan ketidakterimaan pada zaman yang memang demikian adanya sebagai efek perubahan. Tidak perlu takut dengannya tetapi tidakpula pada ketundukan absolut. Diperlukan ideologi atau sikap menempatkan makna atau spiritualitas di tengah arus modernitas. Atau mungkin menghidupkan sisi tradisi dan tidak perlu “malu” pada keputusan tersebut. Lalu kita pun bertanya, manakah sebenarnya sikap yang dianggap terbelakang antara yang berpegang pada kultur tradisional atau keyakinan penuh terhadap modernitas. Padahal termasuk karakteristik akal primitif adalah keyakinan buta pada hasil-hasil dari aktivitasnya dan ini dipandang sebagai hakikat dari apa yang yang dilihatnya sebagai hakikat (Al-Fakhuri & Al-Jurr, 2014: 5). Modernisme sangat identik dengan ciri tersebut, sehingga sikap “memuja modernism” sungguh sangat terbelakang dan primitif. Diketahui dalam sejarah perjalanan manusia ada masa dimana perilaku tunduk secara berlebihan dari hasil produknya sendiri identik dengan budak. Ironis ketika berada dalam lingkaran budak dari zaman yang ikut dan larut begitu saja begelimang materi. Dalam narasi modernitas, manusia memang diberi ruang seluas-luasnya untuk berekspresi, tetapi keluasannya itu justru menjadikannya sebagai berhala bagi dirinya sendiri (Riyadi, 2014: 192).
Meminjam istilah Rollo May “manuia dalam kerangkeng”, merupakan penyakit manusia modern yang menurut Achmad Mubarok, manusia modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong (Abdullah, 2006: 57). Dihadapan nalar modern, kata, bahasa dan narasi telah kehilangan “makna simboliknya”. Kebenaran yang terkandung dalam kata, Bahasa atau narasi yang dulu bisa saja dianggap sebagai objektif dan mutlak kini maulai dipertanyakan (Riyadi, 2014: 212-213). Baru sekitar abad 20 justru ditengah mendominasinya industrialisasi atau moderisme bermunculan sikap mempertanyakan apa yang ada atau mempersoalkan tentang modernitas. Tokoh atau pemikir mulai mempertanyakan kehidupan serba materi ini dan kembali mencari sisi makna dari kehidupan. Walaupun sebenarnya jauh sebelum itu, di Yunani kuno, Plato sudah memperkenalkan ide atau makna menjadi sesuatu yang ideal bagi manusia. Schopenhauer misalnya yang pada masanya mulai prihatin terhadap arus modernitas yang mengancam kehidupan manusia. Dia menolak Hegel yang baginya tidak realistis karena merasa optimis bahwa umat manusia sedang maju, padahal manusia benar-benar tertipu oleh janji-janji manis modernitas (Riyadi, 2014: 89). Ia mengakui ada sisi makna manusia yaitu intuisi yang disebutnya sebagai kehendak metafisis. Tetapi iapun juga terjebak dan justru menghancurkan kemanusiaan, karena ketika kehendak hilang sebagai penggerak manusia maka sifat kemanusiaan pun hilang. Lebih lagi ketika Nietzche dengan lantang yang diselimuti kekecewaan menyuarakan “Tuhan telah mati”. Yang dilakukannya tersebut merupakan bentuk kekecewaan dan kritik terhadap modernitas yang menghilangkan sisi makna atau spiritual.
Dari kekecewaan yang bermunculan yang melatari sikap mempertanyakan tersebut Wilhelm Dilthey mencoba mencari makna dan mencoba memahami kehidupan khususnya sosial historis secara interpreatif. Ia menganggap produk atau fenomena merupakan hasil ungkapan subjek. Mungkin tidak terlalu buruk ketika Wilhelm Dilthey menyebut sebagai Ruh Objektif. Ruh objektif yang dimaksud adalah fenomena atau yang ada merupakan sebuah hasil ungkapan dari proses subjek yang dieksternalisasi. Konsep ini cukup membantu dan membuka jalan untuk mencari makna, bahwa ada ruh ideal yang terselimuti oleh ruh objektif yaitu ruh pada masing-masing subjek. Sayyid Husein Nasr memperkenalkan pandangan bahwa pencarian spiritual manusia merupakan kebutuhan natural. Sehingga perilaku harusnya berdasarkan hikmah yaitu yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Karena kesadaran spiritual dan berusaha mencari makna akan membantu manusia menemukan makna atau wujud dibalik empiris-materialisme. Manusia tidak diciptakan dibumi untuk mendapatkan kenikmatan semata, tetapi ia harus melewati fase-fase perkembangan spiritual yang memungkinkannya mendapatkan bagian spiritual yang baru (Al-Fakhuri & Al-Jurr, 2014: 333).
Dalam tradisi hermeneutik bukankah makna merupakan bagian yang lain yang terselubung dari teks, sehingga cenderung dikatakan bahwa tradisi merupakan antitesa dari modernitas. Sangat aneh ketika keduanya dianggap berantitesa atau bertolak belakang, padahal keduanya merupakan dual hal dengan intensitas yang sama yaitu zaman, yang pertama datang lebih awal dan yang kedua belakangan dan ia ada dimasa sekarang. Yang memungkinkan adalah memadukan diantara keduanya, makna mesti ada dibelakang teks atau tradisi terselubung dalam modernitas. Sangat relevan ketika Aqil Siradj menyuarakan kosmopolitanisme dalam merespon ketegangan tersebut. Kosmpolitasnisme sendiri bermakna sikap terbuka untuk bersedia berinteraksi dan menyerap berbagai macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan atau keseimbangan antara kecenderungan normatif dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (Aqil Siradj, 2014: 203-204). Makna dalam arti luas tidak lagi dipahami sebagai tradisi tetapi bagian dari modernitas yang mesti dicari dan diungkap. Pada kasus ini meninggalkan modernitas juga bisa disalahkan, karena modernitas tidak sepenuhnya salah walaupun berbagai persoalan yang dihasilkannya sebagaimana yang telah disinggung lebih awal. Tepatlah ketika Hassan Hanafi yang menganggap bahwa
“ pada zaman modern, yang dicari bukanlah model manusia yang dapat menunjukkan kecongkakan diruang hampa, bukan pula manusia yang merasa dirinya tidak berarti dibawah kolong langit yang luas ini. Yang dicari adalah manusia yang dapat memperkuat kepercayaan dirinya sendiri, menggunakan kemampuan intelektual, mempertebal rasa tanggung jawab sosial, merealisasikan pesan-pesan moral, mempertebal kesadaran kerakyatan, dan menangkap dinamika sejarah.” (Hanafi, 2010: xxx)
Quraish Shihab mengibaratkan galobalisasi-modernitas berdasar pada hadis Nabi Muhammad saw: “Apabila para penumpang membiarkan mereka melubangi perahu, maka mereka semua akan binasa (tenggelam), tetapi bila penumpang yang di bawah dicegah, maka mereka semua akan selamat.”.
Dewasa ini di era globalisasi ketika dunia diibaratkan telah menjadi “desa kecil” atau dalam istilah Nabi Muhammad saw. sebagai kehidupan dalam suatu perahu, alangkah pentingnya kita bekerja sama menyelamatkan perahu yang kita tumpangi bersama (quraishshihab.com).
Dengan kata lain,diakui secara sadar bahwa krisis modern yaitu ketidakberdayaan manusia bermain dalam pentas ruang hampa modern sudah kehilangan makna, manusia kosong. Seperti yang disebutkan bahwa kehidupan terus berubah, sehingga sikap pasif sangatlah tidak dibutuhkan ditengah arus begitu cepat, yang diperlukan adalah menampilkan makna dengan sikap dinamis. Bahwa makna dicari dan ditemukan dari upaya-upaya kesadaran akan pentingnya kerja kolektif. Serta sikap menggali dan memahami proses historis karena merupakan makna dari teks yang disebut modernitas. Perlu diingat salah satu cita-cita modernitas ialah melakukan perbuhan secara menyeluruh. Momeng ini sangat tetap untuk mencari makna, menampilkannya dan mengiternalisisasikan pada tiap-tiap subjek kemudian memperbaharuinya sehingga tidak lagi terselubung dari penghancuran modernitas. Karena makna tidaklah hilang, makna bukanlah tidak ada dibalik teks, tetapi ia tersembunyi dibalik teks, ditengah kesibukan formalitas empiris.
ABOUT THE AUTHOR
Lahir 06 Maret 1995 merupakan alumni Pondok Pesantren Daarul Mu'minin. Sekarang kuliah jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin angkatan 2013
0 comentários:
Post a Comment