MENEMUKAN DENGAN SENI

Suatu waktu waktu pada tahun 2014 lalu menghadiri pementasan drama di Benteng Rotterdam Makassar. Waktu itu berlangsung beberapa hari dengan berbagai kegiatan termasuk pameran buku di siang hari dan pementasan seni pada malam hari. Dua acara yang berkesinambungan yakni pementasan drama yang berkisah tentang Pangeran Diponegoro yang pada saat itu juga launching buku yang berjudul Takdir tentang Riwayat Hidup Pangeran Diponegoro. Pementasan drama yang tampil sebagai narator adalah Landung Simatupang yang memang lebih banyak menampilkan pementasan tokoh ini, bahkan salah satu keturunan Pangeran Diponegoro turut terlibat dalam pementasan tersebut. Drama tersebut diberi judul Aku Diponegoro yang diadaptasi dari buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey dan Babad Diponegoro. Pada siang harinya ada pameran buku termasuk peluncuran buku berjudul Takdir yang merupakan versi ringkasan dari Kuasa Ramalan yang terdiri dari tiga jilid. Launching buku tersebut dihadiri langsung oleh penulisnya yakni Peter Carey. 

Secara pribadi, tokoh seperti Pangeran Diponegoro hanya tahu namanya dan termasuk pahlawan nasional. Soal siapa, silsilah dan seperti apa perjuangannya belum sampai mengerti. Walaupun sebelumnya pernah studi banding pada tahun 2010 saat tamat MTs dan salah satu agendanya dengan mengunjungi situs sejarah. Waktu itu kita berkunjung ke tempat yang dikemudian hari saya tahu menjadi tempat pengasingan Pageran Diponegoro. Pementasan drama tersebutlah yang akhirnya menjadi titik awal tahu dan mengerti sosok Pangeran Diponegoro. Sang narator memulai berkisah masa kecil sang tokoh yang ternyata mempunyai nama Raden Mas Mustahar sebagai nama kecilnya. Hingga suatu saat Pengeran Diponegoro kecil dibawah dihadapan kakek buyutnya dan kakeknya berkata dengan nada ramalan bahwa cucunya kelak akan menjadi tokoh besar. Konsep drama ini sang narator berganti sesuai pembabakan ceritanya. Tokoh yang memerankan Diponegoro kecil berkisah bahwa saat umur umur 7 tahun ia diberi nama Raden Mas Ontowiryo oleh kerajayaan. Saat itupula ia meninggalkan kerajaan menuju Desa Tegalrejo. Di Tegalrejo inilah ia diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang kelak berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian sang tokoh. 

Narator berkisah penuh khidmad dengan diiringi musik yang dihasilkan dari gamelan. Suasana panggung yang didesain dengan beberapa instrumen termasuk Wayang. Tentu saja pada saat itu, Wayang bukan menjadi instrumen inti dalam pementasan karena memang konsepnya pementasan drama. Akan tetapi, aspek seni dan kebudayaan sangat mewarnai pementasan tersebut. Peristiwa pada akhirnya berkorelasi kuat dengan ketokohan Pangerang Diponegoro. Kita tahu dalam berbagai penceritaan yang tertuang dalam buku menunjukkan sosok perlawanan terhadap penjajahan ini sangat kuat dengan hal-hal mistik.

Penampilan drama yang berlangsung kurang lebih dua jam itu jelas tidak bisa menggambarkan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro secara utuh. Akan tetapi jelas memberikan pembabakan sekilas tentang sosoknya yang menjadi pintu masuk untuk mengerti lebih jauh bahkan menjadi salah satu sudut pandang melihat perlawanan terhadap kolonialisme pada waktu itu. Dari kisah tersebut akhirnya berkenalan langsung dengan buku yang mengulas tentang perjuangannya. Peter Carey sang penulis kisah Pangeran Diponegoro yang awalnya menulis buku Kuasa Ramalan kemudian diringkasnya dalam buku Takdir. Belakangan ini ada buku yang sangat menarik juga yang berjudul Jejaring Ulama Diponegoro kolaborasi Santri dan Kesatri membangun Islam Kebangsaan yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie. Dalam buku tersebut tergambar bagaimana keharmonisan yang terjalin antara agama dan negara pada diri Diponegoro. Dapat terpahami pula bahwa sosoknya yang religius sebagaimana yang tergambarkan dari kisahnya belajar dari pesantren ke pesantren, menyusuri gua melakukan pertapaan. Belum lagi dengan keterkaitannya dengan Kiai Mojo sebagai penasehatnya terutama pada masa-masa perlawanan melawan penjajahan. Walaupun usahanya tidak begitu berhasil yang berujung pada penjarah, tetapi efek yang yang ditimbulkannya sangat berarti terutama kerugian yang dialami oleh VOC pada masa perang 1825-1830. Pangeran Diponegoro begitu kagum dengan sastra yang salah satu buktinya dengan kemampuannya menulis otobiografinya yang diberi judul Babad Diponegoro. Beragam tema yang ia baca termasuk tema mistik Islam seperti tasawuf. Ia pun juga menyukai kesenian seperti wayang hingga mempunyai Keris kasayangan. Pageran juga akrab dengan kisah-kisah lakon wayang Jawa dan dalam otobiografinya membuat sejumlah perumpamaan atas tokoh-tokoh dari dunia pewayangan ini. (Carey, 2014 : 32). 

Sebelum masa perang, Pageran Diponegoro banyak mengunjungi pesantren untuk belajar agama. Sebagai santri kelana, Ia banyak beriteraksi dengan banyak Kiai hingga fase selanjutnya mulai menyepi, mengambil jarak dari keramaian kemudian melakukan meditasi atau pertapaan. Salah satu momen menyendiri tersebut, ia bertemu dengan sosok Sunan Kalijaga salah satu generasi Walisongo. Pertemuan ini tidak hanya menjadi isyarat mengenai dorongan perlawanan terhadap penjajahan, tetapi berkolasi kuat dengan silsilahnya.

Sunan Kalijaga yang mempunyai nama Raden Sahid dikenal metode dakwahnya menggunakan pendekatan seni dan budaya. Ia bahkan pencipta wayang kulit yang dikenal hingga sekarang dan menggunakan cerita pewayangan dalam mendakwahkan Islam. KH. Agus Sunyoto menyebutkan dalam bukunya Atlas Walisongo bahwa Sunan Kalijaga yang akhirnya mereformasi pewayangan tersebut. Sang Wali yang menikah dengan adik dari Sunan Gunung Jati ini yakni Sitti Zaenab mengambil wayang dari lakon Dewa Ruci. Lakon tersebut diadaptasi menjadi kisah perjalanan tasawuf dari tokoh Bima.

Dari Sunan Kalijaga akhirnya bisa dipetik pelajaran penting betapa berpengaruhnya metode seni dan budaya dalam menyebarkan agama Islam. Wayang pun menjadi pintu masuk untuk menelusuri ketersambungan Pageran Diponegoro yang tidak hanya biologis, tetapi juga cara pandang tentang keagamaan, budaya hingga kebangsaan. Seni jugalah yang membuat mereka bisa menemukan cara yang tepat menyampaikan gagasan sekaligus penanaman nilai-nilai.

Seni ataupun satra sangat berperan penting dalam menyampaikan sesuatu dan menyenangkan. Betapa sekelumit cerita diatas, bagaimana pementasan drama mampu menarik perhatian untuk lebih mengenal lebih jauh seorang tokoh. Jika mengacu pada aspek fungsional, maka hal semacam ini sama ketika seorang pendidik yang menggunakan metodologi tertentu agar mempermudah penyampaian materi hingga disetting dengan suasana yang menyenangkan. Seni salah satu hal universal dalam hidup yang hampir semua lini kehidupan mempunyai sisi keseniannya. Alam semesta yang selama ini ditangan saintis penuh rumus-rumus matematik seperti penemuan geometris, tetapi hasil temuan itu berujung pada seni. Sifat keteraturan antar berbagai unsur alam adalah keindahan dan harmoni. Walau terdapat perbedaan aliran dalam seni, tetapi hampir semua menyepakati arti penting seni. Muhammad Iqbal salah satu filosof yang lahir di Lahore tidak menyepakati prinsip "seni untuk seni". Dalam arti tidak sepaham dengan pandangan seni untuk keindahan, harmoni dan semacamnya. Ia punya pandangan bahwa seni seharusnya punya  nilai fungsional yang mampu menggerakkan emosi. Seni yang tidak menstimulus ego atau membangkitkan semangat baginya tidak bisa disebut seni. Ada sebuah kisah dari seorang penyair pada masa Rasulullah Saw. yang tentu saja gemar membuat syair. Imam Al-Bushiri dikemudian hari dikenal dengan sayyidul maddah berkat syair-syairnya yang luar biasa. Suatu waktu ia sakit dan mengarang syair berupa pujian terhadap Nabi. Puisi yang dibuatnya ini mengantarkannya mimpi bertemu Nabi hingga terbangun terdapat jubah pemberian dari Rasulullah Saw. Dari kecintaan mengarang syair mengantarkannya mendapat syafa'at Nabi yang nantinya syair dicantumkan dalam kitab al-Barzanji. Atau bagaimana ketika Jalaludin Rumi mengalami kesedihan saat kematian guru spiritualnya. Pada masa itu, ia menari berlawanan arah jarum jam yang dikemudian hari disebut tari sufi.


Tabe'

Salama'ki Topada Salama'

*Penulis merupakan Alumni Pondok Pesantren Daarul Mu'minin As'adiyah

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir 06 Maret 1995 merupakan alumni Pondok Pesantren Daarul Mu'minin. Sekarang kuliah jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin angkatan 2013

0 comentários:

Post a Comment