Kekhasan Nalar Kebudayaan

Formasi Nalar Kebudayaan Arab al-Jabiri
Nalar Kebudayaan - Formasi Nalar Arab

Istilah “nalar Arab” mempunyai signifikansi pembahasan buku ini dibanding menggunakan kata “pemikiran” (al-fikr). Kata pemikiran lebih mengacu kepada muatan da nisi pemikiran, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran, ideal-ideal etik, doktrin-doktrin mazhab serta ambisi social politik. Sedangkan focus perhatian bukan semata-mata pemikiran, tetapi perangkat yang memproduksi pemikiran. Sesungguhnya ada kebertautan antara pemikiran sebagai perangkat untuk memproduksi pemikiran dan pemikiran sebagai kumpulan pemikiran itu sendiri.

Pemikiran baik dalam pengertian perangkat berpikir maupun produk pemikiran merupakan produk pergeseran dengan lingkungan dimana ia berinteraksi. Dengan demikian pemikiran Arab bukan semata konsep dan pandangan yang mencerminkan realitas Arab, tetapi juga ia adalah produk dan model berpikir yang dibentuk oleh realitas Arab. Terdapat pula kaidah “etnisitas kultural” bahwa seorang pemikir tidak tergolon kedalam suatu kebudayaan tertentu kecuali jika ia berpikir dalam kebudayaan tersebut. Berpikir melalui suatu kebudayaan tertentu artinya berpikir melalui system referensial yang membentuk koordinat-koordinat dasarnya yakni factor-faktor penentu dan pembentuk kebudayaan ini berupa warisan kultural, lingkungan sosial, cara pandang terhadap alam, dunia dan manusia. Dengan demikian batasan awal konsep nalar Arab bahwa nalar Arab adalah pemikiran sebagai perangkat untuk menelurkan produk-produk teroritis yang dibentuk oleh suatu kebudayaan yang memiliki kekhasan sendiri, kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab, mencerminkan realitas, ambisi masa depan, rintangan yang menghambat kemajuan serta sebab-sebab kemundurannya saat ini.

Sekarang muncul pertanyaan apakah berarti “nalar” tersebut sama sekali tidak mengandung produk pemikiran? Untuk menjawab pertanyaan ini, terbantu oleh pembedaan yang dibuat Lalande antara nalar pembentuk atau aktif dan nalar terbentuk atau dominan. Yang pertama adalah aktifitas kognitif yang dilakukan pikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Sedang nalar kedua adalah sejumlah “asas dan kaidah yang kita jadikan pegangan dalam berargumentasi. Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “nalar Arab” adalah nalar terbentuk yakni sejumlah asas dan kaidah yang dimunculkan kebudayaan Arab untuk mereka yang terkait dengannya sebagai landasan memperoleh pengetahuan atau sebagai system epistemic yang tidak bias mereka elakkan. Adapun nalar pembentuk merupakan karakteristik yang membedakan manusia dengan binatang dan bias dikatakan bahwa seluruh manusia adalah sama. Setiap orang yang terkait kebudayaan tertentu memiliki kekhasan.

Membicarakan nalar Arab merupakan keharusan untuk menjelaskan dan membedakannya dengan nalar Yunani dan nalar Eropa untuk menentukan identitas nalar Arab. Arab, Yunani dan Eropa yang mempratekkan pemikiran rasional filosofis dan bukan hanya berpikir dengawn akal tetapi juga berpikir tentang akal.

Memahami sistem kebudyaan Yunani dalam wacana filosofisnya masih kembali kepada Herclitus dan Anaxagoras. Menurut ahli sejarah filsafat, Herclitus adalah orang yang pertama mengemukakan tentang “logos” atau “akal”. Heraclitus menggagas adanya hukum universal yang mengatur realitas. Akal universal sebagai sesuatu yang mengatur alam dari dalam. Posisi nala ini bagi alam setara dengan posisi jiwa bagi manusia, jika dalam arti esensi yang terpisah dari tubuh, tetapi menjadi landasan bagi seluruh geraknya.

Berbeda dengan Heraclitus, Anaxagoras memandang bahwa tubuh terdiri dari bagian-bagian yang bias dibagi tanpa batas, tetapi mengandaikan adanya bagian terkecil yang tidak bias dibagi. Kekuatan penggerak yang memisahkan antar bagian kemudian mempertautkan yang oleh Anaxagoras disebut Nous atau akal. Akal itu memahami segala sesuatu yang melebur, terpisah dan terbagi serta menebarkan sistem dalam segala hal.

Pemikiran Herclitus tentang logos menjadi dasar filsafat Stoik dan pemikiran Anaxagoras tentang Nous menjadi nalar Socrates kemudian Palto dan Aristoteles. Inti pemikiran Yunani yaitu konsepsi hubungan antara alam dan akal universal. Alam awalnya realitas yang tidak tertata, kemudian masuk kekuatan yangn disebut akal yang mengatur alam. Filsafat modern di Eropa juga berjalan dalam alur ini. Pemikiran Eropa modern menggambarkan akal universal sebagai hukum mutlak bagi manusia. Melebrance berkata “akal yang mengarahkan kita adalah akal universal”. Descartes hadir memisahkan antara nalar dana lam tetapi dipaksa menggabungkannya pada keyakinan dan kehendak ketuhanan. Spinoza mengkritik Descartes yang menyatakan adanya dua substansi sebab tidak mungkin kecuali hanya ada satu substansi. Maka akal dalam alam adalah dua penampakan dengan satu substansi. Semangat yang mendominasi di Eropa bukan hanya menegaskan konfrontasi akal dana lam tetapi juga menemukan kesatuan hakikat.

Persoalan tersebut berusaha dipecahkan oleh Kant yang menurutnya konformitas akal dan sistem natural berjalan diatas kesatuan matematika dan fisika atau bergantung kepada pengalaman akal bukan prinsip fisika. Kant membedakan antara “benda itu sendiri”  dan benda sebagaimana yang tampak dimata kita”. Hegel kemudian menyerang filsafat kritis Kant dan ia memandang sesuatu yang kita ketahui secara rasional bukan semata-mata penampakan tetapi juga benda itu sendiri. Benda itu sendiri bukan dihasilkan melaluoi indera tetapi diperoleh dari akal dan sejarah.
Dari paparan global tersebut, pertama menjustisifikasi adanya nalar Arab. Wacana ini menunjukkan keragaman nalar serta isyarat adanya nalar atau logika yang khas. Kedua paparan nalar Yunani dan Eropa menegaskan keterkaitannya dengan kebudayaan yang menghasilkannya.
Yang mungking dipandang sebagai usur-unsur permanen dalam nalar Yunani-Eropa adalah:
1. Hubungan akal dana lam dipandang sebagai hubungan langsung (dasar cara pandang terhadap wujud).
2. Keyakinan terhadap kemampuan akal untuk menjelaskan dan menyingkapkan rahasia-rahasia alam. (dasar cara pandang terhadap pengetahuan).
Struktur akal yang dibangun Yunani-Eropa tidak ditemukan bahwa tuhan tidak menjadi aspek ketiga yang berdiri secara terpisah dari alam dan manusia.

Ciri nalar Arab Islam adalah relasi antara Allah manusia dana lam. Gagasan tentang Allah memainkan peran “indikatif” dalam akal manusia untuk menyingkap sistem alam , sedangkan alam sebagai petunjuk bagi akal manusia untuk menyingkap Allah dan menjelaskan hakekatnya. Jika konsep nalar Yunani-Eropa berupaya memahami sebab yakni pengetahuan, maka nalar Arab berkaitan dengan akhlak. Dalam pemikiran Yunani-Eropa, akhlak dibangun berdasar pengetahuan, sedang nalar Arab, pengetahuan berdasar akhlak. Dalam istilah Arab, orang yang berakal berarti orang yang mampu menelaah dan berpikir secara menyeluruh. Disebut al-‘aql karena ia mencegah pemiliknya agar tidak terjatuh kepada kehancuran. Al-Hija berarti memahami kesalahan yang berkaitan aspek nilai. Dzihn bermakna kekuatan. Fu’ad berarti menyalakan, belas kasih, kelembutan. Sedangkan alfikr bermakna konseptualisasi terhadap sesuatu yang mengandung nilai. Kata ‘aql banyak berkaitan dengan subjek dan kondisi emotifnya dan keputusan-keputusan yang berkenaan dengan nilai. Memungkinkan dikatakan bahwa nalar Arab diarahkan oleh pandangan normative terhadap segala sesuatu. Pandangan normative adalah kecenderungan dalam berpikir untuk mencari posisi dan letak sesuatu dalam sistem nilai yang dijadikan rujukan oleh pemikiran itu.

Al-Jahid menganggap setiap makna bagi orang-orang non Arab muncul dari hasil pemikiran panjang, sedangkan masyarakat Arab adalah spontanitas yakni cepatnya pemahaman. Sedangkan syahrastani yang menurutnya orang Arab lebih cenderung kepada upaya menetapkan kekhasan sesuatu, hukum substansi dan hakekatnya menggunakan hal-hal ruhiyah.

Konsep sistem pengetahuan yaitu sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktifitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era historis tertentu, yaitu struktur bahwa sadarnya. Struktur adalah adanya factor permanen dan berubah dalam kebudayaan Arab yang membentuk nalar itu. Banyak hal-hal yang tidak berubah dalam kebudayaan Arab sejak era jahiliyah hingga sekarang yang secara keseluruhan membentuk factor permanen dan selanjutnya menjadi dasar bagi struktur nalar yakni nalar Arab. Hubungan nalar dan kebudayaan sebagai hubungan tak sadar karena yang terlupakan tidaklah sirna tetapi tetap hidup dibawah sadar seperti ditegaskan Freud. Struktru nalar Arab yang dimaksud adalah konsep dan aktifitas pemikiran yang membekali orang-orang yang terkait dengan kebudayaan Arab dan membentuk “ketidaksadaran kognitif” yang mengarahkan pandangan mereka dalam wilayah pemikiran dan akhlak, serta cara pandang mereka terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.

Dalam kebudayaan, waktu atau era tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang didalamnya terjadi pergerakan, tetapi juga terjadi stagnasi gerakan dalam kebudayaan Arab adalah era statis bukan gerakan dinamis. Klaim ini membutuhkan justifikasi memadai, bukankah nahwu, ushul fiqhi, syair telah sempurna dibuat oleh para tokoh diera kodifikasi?

Ringkasan buku BAB I: Nalar Kebudayaan dari buku Formasi Nalar Arab karya Muhammad Abed al-Jabiri.
*Diringkas pada 22 Januari 2016

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir 06 Maret 1995 merupakan alumni Pondok Pesantren Daarul Mu'minin. Sekarang kuliah jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin angkatan 2013

0 comentários:

Post a Comment