Islam Nusantara dalam Wacana

Suatu wacana, konsep ataupun gagasan pada awalnya akan terjadi diskursus. Diskursus terjadi dalam kaitannya untuk memperjelas kekaburan. Islam Nusantara akhir-akhir ini menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat maupun akademisi. Yang terjadi dipermukaan adalah perdebatan sisi linguistik mengenai istilah Islam Nusantara. Sebagai sebuah istilah memang kadangkala terjadi perdebatan panjang jika tidak dilihat sisi definisi maupun substansinya. Banyak persoalan terjadi perdebatan panjang karena sesuatu dilihat dari aspek yang tampak atau kata tanpa melihat sisi maknanya. 

Islam Nusantara 
Istilah Islam Nusantara diperbincangkan secara massif ditahun 2015 lalu yang kalau ditelusuri sebenarnya suatu wacana lama sejak reformasi. Bahkan kalau ditelusuri dalam naskah-naskah abad ke 18 ternyata ditemukan istilah "Din Arab Jawi". Din Arab Jawi inilah dipahami sebagai istilah Islam Nusantara karena ulama-ulama dari Nusantara pada waktu itu sering disebut al-Jawi untuk sebutan asal ulama dari nusantara dan istilah Arab adalah Islam.

Dalam memahami Islam Nusantara dapat dipakai berbagai sudut pandang atau tinjauan antara lain sosial, budaya, antropologis, filosofis dan kebahasaan. Kalau dari sisi kebahasaan bahwa Islam Nusantara sebagai susunan Idhafah yang punya tiga kemungkinan makna yaitu bermakna "fi", terdapat hurur "ba" dan "lam".  Islam Nusantara dipahami sebagai Islam di Indonesia. Islam yang berkembang, diamalkan dan yang hadir di Indonesia atau Islam mengejawantahkan di bumi Nusantara. Jika dipahami sebagai istilah bahasa Indonesia, Islam Nusantara sebagai frase juga dipahami sebagai kekhasan tanpa ada konjungsi "di" diantaranya dan sama sekali tidak ada masalah kalau dilihat dan dipahami definisi Islam Nusantara. 

Islam Nusantara sebagai bagian dari kontekstualisasi Islam. Bahwa Islam bisa hidup dan berkembang disetiap waktu dan tempat dengan karakteristik masing-masing setiap geografis. KH. Ahmad Baso dalam bukunya Islam Nusantara menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbat tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan wilayah, teritori, kondisi alam dan cara pengamatannya penduduk kita". Sebagai contoh, istilah "Halal bi Halal" merupakan yang khas di Indonesia. Dicari di Arab ataupun kamus bahasa Arab tidak ditemukan, karena memang istilah khas yang dibuat oleh ulama-ulama Nusantara untuk sikap atau aktifitas bersosial setelah melaksanakan hari raya.

Diluar wacana dan konsep, Islam Nusantara sebenarnya telah hadir sebagai fakta historis yaitu dalam laku diri masyarakat Nusantara/Indonesia. Kalau Islam dipandang sebagai sosial, pendidikan, keagamaan maka di Nusantara institusi Pesantren sebagai ciri khas institusi pendidikan Islam Nusantara. Sebagaimana Islam Nusantara yang coraknya toleran, sejuk dan damai, Pesantren demikian halnya. Karakter tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis Nusantara yang sejuk juga karakter tasawwuf yang melekat pada Pesantren. Martin Van Bruinessen yang mengkaji persoalan ini punya kesimpulan kuat mengenai keterkaitan Pesantren dengan Tasawwuf didalam bukunya "Kitab Kuning, Tarekat dan Pesantren".

Yang pertama bahwa Islam Nusantara bukan ajaran baru. Islam sebagai agama dan ajaran tetap tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya. Ajaran pokok Islam dan yang jelas qath'i tetap mulia dan tidak diotak-atik sama sekali. Islam Nusantara dalam konteksnya untuk merealisasikan "Islam sesuai waktu dan tempat". Artinya upaya mennghidupakan Islam sesuai teritori, kondisi alam dan waktu.

Islam Nusantara tidak mereduksi ajaran Islam dan sama sekali tidak anti Arab dll. Sama sekali tidak memutus mata rantai historis, nyatanya ulama Nusantara pernah menjadi rujukan dan mendirikan madrasah yang bernama Darul Ulum di Mekkah pada abad 18. Hanya saja ada suatu yang khas di wilayah pengamalannya dan kebudayaan. Sebagai perbandingan misalnya Abid al-Jabiri memunculkan istilah Nalar Arab atau kadangkala Arab Islam. Kalau sepintas lalu, istilah ini juga mereduksi Islam yang seolah Islam hanya di Arab. Setelah dikaji kenyataannya tidak demikian, justru adanya suatu yang khas disetiap kebudayaan. 

Setiap letak geografis dan budaya punya kekhasan masing-masing. Al-Jabiri sendiri berpandangan adanya kekhasan setiap budaya, Arab punya kekhasan, Eropa punya ciri khas, begitupula Nusantara punya kekhasan tersendiri. Dengan demikian pemikiran Islam Nusantara bukan semata konsep dan pandangan yang mencerminkan realitas Nusantara, tetapi juga ia adalah produk dan model berpikir yang dibentuk oleh realitas Nusantara. Terdapat pula kaidah “etnisitas kultural” bahwa seorang pemikir tidak tergolon kedalam suatu kebudayaan tertentu kecuali jika ia berpikir dalam kebudayaan tersebut. Berpikir melalui suatu kebudayaan tertentu artinya berpikir melalui system referensial yang membentuk koordinat-koordinat dasarnya yakni factor-faktor penentu dan pembentuk kebudayaan ini berupa warisan kultural, lingkungan sosial, cara pandang terhadap alam, dunia dan manusia. (Abid al-Jabiri, 2014; 25)

Mengenai pemikiran Abid al-Jabiri tentang kekhasan budaya baca:



Tidak hanya itu, Imam Syafi'i memberikan isyarat betapa pentingnya memahami dan mempertimbangkan kondisi geografis. "Kata beliau: 'Ma min biladil-muslimina baladun Illa wa-fihi 'ilmun qad shara ahluhu ila 'ttiba'i qauli rajulin min ahlihi fi aktsari aqawalihi'. Artinya, disetiap negeri umat Islam itu ada ilmu yang dijalani dan diikuti oleh penduduknya, dan ilmu itu kemudian menjadi pegangan para ulamanya dalam kebanyakan pendapatnya."  (Ahmad Baso, 2015; 7)

Kekhasan tersebut beserta tokoh-tokohnya misalnya tercermin dari metode dakwah Wali Songo yang penuh perdamaian tanpa ada pertumpahan darah. Metode dakwah yang melihat serta penyesuaian kondisi waktu dan tempat. Cara persuasif para Wali Songo dalam dakwahnya melalui pendekatan budaya serta tasawwuf dinilai sangat berhasil menyentuh dan mengenalkan Islam pada masyarakat Nusantara.

Islam Nusantara juga sebagai wacana poskolonial. Ketika masa kolonial begitu gencarnya, disaat itu pula banyak hal yang tergerus dinegeri ini termasuk soal identitas dan kebudayaan. Walaupun masih ada perdebatan soal istilah poskolonial, yang jelas identitas, budaya kita perlu di perhatikan dan dihadirkan kembali. Islam Nusantara hadir sebagai wacana dan konsep dalam menjawab persoalan tersebut dalam meneguhkan kembali kebangsaan dan keagamaan serta tradisi kita. Kalau dilihat dari sikap hidup dan laku diri, karakter yang ditunjukkan oleh para ulama dan kaum santri adalah melawan kolonialisme.

Bersamaan hal tersebut, Islam Nusantara juga hadir merespon modernitas dan globasasi. Di wilayah ini Islam Nusantara ingin meneguhkan kembali identitas, budaya dan tradisi kita namun tetap pada wilayah merespon masa depan. Islam Nusantara tidak serta secara serampangan kembali pada tradisi karena harus mempertimbangkan kondisi kekinian atau modernitas. Sehingga konsep umum jadi panduan metodologinya yaitu konsep "al-Muhafazhatu 'alal Qadimis Shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah"  yang semakna dengan konsep al-Washl dan al-Fashlnya Abid al-Jabiri.

Tradisi ini menjadi penting di kebudayaan manapun. Al-Jabiri misalnya memandang tradisi Sebagi pilar-pilar persatuan dikalangan masyarakat Arab. Namun ia mengakui dan menemukan fakta bahwa dimasyarakat Arab terjadi keterpurukan kultural akibat kurang memperhatikan aspek tradisinya. Suatu fakta historis bahwa tradisi atau budaya dinusantara mampu diapresiasi dan berjalan beriringan dengan Islam secara damai.
03/11/2018
Muhammad Sawaluddin

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Lahir 06 Maret 1995 merupakan alumni Pondok Pesantren Daarul Mu'minin. Sekarang kuliah jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin angkatan 2013

0 comentários:

Post a Comment